Kemarin sore, saya sempat membaca status rekan jejaring sosial di facebook yang juga seorang rekan di kompasiana. Dalam statusnya dia mengatakan mahasiswa Makasar primitif, ungkapnya pasca menyaksikan bentrokan mahasiswa dengan warga yang kesal dan terganggu aktivitasnya gara-gara ulah mahasiswa menutup jalan raya depan kampus Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin, Makasar, ibukota Provinsi Sulawesi Selatan.

Saya dan rekan-rekan kompasiana yang menyaksikan tayangan bentrokan itu di televisi barangkali hanya sanggup mengelus dada dan saling bertanya, “Benarkah itu mahasiswa? Mana simbol intelektualitasnya?”.

Sebagai orang yang pernah mengalami masa-masa dunia kampus, terus terang ketika itu semangat saya sebagai mahasiswa begitu menggebu-gebu, progresif, kritis, namun tidak anarkis. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata terakhir itu diartikan sebagai keadaan tanpa aturan dan ketertiban, atau suasana kacau. Jadi, mahasiswa yang bertindak anarkis, merusak fasilitas umum, fasilitas sosial, dan aset rakyat lainnya boleh dikatakan mereka telah mundur jauh ke belakang, mundur ke era belum adanya peradaban, artinya perilaku mereka kembali ke masa primitif, era dimana tidak digunakannya intelektualitas. Padahal intelektualitas selalu dilekatkan kepada kalangan ini. Jadi saya mengamini saja jika perilaku mahasiswa Makasar yang anarkis kemarin adalah perilaku primitif.

***

Kamis kemarin (4/3/2010) tempointeraktif melaporkan bentrokan mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin dengan warga pengguna jalan. Warga kesal lantaran sudah terlalu lama jalanan di depan kampus tidak dibuka. Sejak pukul 10.00 wita Jalan Alauddin ditutup total oleh mahasiswa.

Sekitar 200 polisi antihura-hara Brimob Polda Sulsel mendesak mahasiswa mundur. Tapi, mahasiswa bertahan dan terus melempar batu dari dalam kampus. Polisi sudah menembakkan gas air mata. Akibat perang batu ini, Intan, 36 tahun, terluka terkena lemparan. Warga yang marah kemudian merusak pos satpam UIN, mereka juga melontarkan maki-makian kepada mahasiswa. Kapolda Sulawesi Selatan dan Barat Irjen Pol Adang Rochjana menyatakan aksi yang dilakukan warga adalah titik kulminasi karena tidak tahan dengan ulah mahasiswa. (Lihat)

Sejam sebelumnya, mahasiswa kampus lain masih di kota yang sama, bangunan pos polisi pelayanan masyarakat di pertigaan Jalan A.P. Pettarani dan Urip Sumoharjo, Makassar dilempari batu oleh sejumlah mahasiswa dari Universitas Muslim Indonesia. Akibatnya dua kaca pos polisi pecah.

Polisi yang tidak tahu apa-apa yang berjumah sekitar 30 anggota Brimob dan polisi dari Polres Makassar Timur sempat keteteran karena dilempari batu. Namun, tak beberapa lama mahasiswa pergi setelah bantuan 7 unit mobil polisi lalu lintas dengan sekitar 15 orang polisi datang.

Meski begitu mahasiswa UMI masih berjaga-jaga di kampusnya yang berjarak satu kilometer dari pos polisi tersebut. Ada kabar kericuhan mahasiswa juga terjadi di kampus Universitas Hasanuddin, dan Universitas Muhammadiyah.

Pengrusakan kantor polisi ini sudah yang kesekian kali menjadi korban keganasan mahasiswa. Tadi pagi mahasiswa sudah merusak pos polisi di pertigaan A.P. Pettarani dan Alauddin. Lalu siangnya, mahasiswa melempari kantor Polsekta Ujungpandang. (Lihat)

Salah satu aset rakyat yang dihancurkan mahasiswa di Makassar  (foto kompas)

Salah satu aset rakyat yang dihancurkan mahasiswa di Makassar (foto kompas)

Bentrok Mahasiswa Makasar dengan Pengantar Jenazah

Selain dengan polisi, mahasiswa Makasar juga bentrok dengan warga pengguna jalan. Kali ini bukan main-main, yakni mobil pengantar jenazah dengan sirine yang selalu meraung-raung. Sudah menjadi rahasia umum, pengantar jenazah di Kota Makassar kerap menjadi “penguasa tunggal” di jalan. Seakan hanya mereka yang bisa lewat di jalan raya, pengguna jalan lainnya wajib minggir. Apa jadinya jika dua “penguasa” jalan bertemu di satu jalan. Bisa dibayangkan, bentrokan sulit terelakkan.

Begitu juga dengan mahasiswa yang menggelar demonstrasi. Mereka kerap menjelma menjadi “maharaja” di jalan raya. Pengguna jalan “wajib” antre lewat atau mencari jalur lain.
Saat dua “penguasa jalan” itu bertemu, bentrokan kerap menjadi suguhan. Itulah yang terjadi di Jl. Urip Sumoharjo, Makassar, Rabu kemarin (3/3/2010) atau sehari sebelum bentrokan mahasiswa versus polisi tadi.

Ketika mahasiswa Universitas Muslim Indonesia (UMI) “menguasai” jalan saat berdemo, puluhan pengantar jenazah tiba-tiba datang menuntut dibukanya jalan yang diblokir. Kedua pihak sama-sama ngotot, bentrokan pun pecah. Kejadiannya cepat, namun perang batu antar kedua pihak tidak dapat dihindarkan. Beruntung polisi yang berjaga di tempat tersebut dibantu jendral lapangan (jenlap) pada aksi tersebut dapat menenangkan dan melerai massa yang sedang panas.

Selain aksi saling lempar, mahasiswa UMI juga menyandera mobil berplat merah serta sebuah mobil bermuatan peti kemas. Selain itu mereka juga sempat membakar ban, dan empat ekor ayam betina yang bertuliskan “SBY”.

Kejadian serupa terjadi di depan kampus Universitas Muhammadiyah (Unismuh) Makassar, beberapa bulan lalu. Ketika itu, mahasiswa Unismuh asyik berorasi di depan kampus mereka, tiba-tiba pengantar jenazah lewat. Perang mulut tak terhindarkan kemudian menjadi perang batu. (Lihat)

Di tempat terpisah hari Rabu (3/3/2010), metrotvnews melaporkan bentrokan juga terjadi di Universitas Hassanudin Makassar, antara mahasiswa dan aparat kepolisian. Mahasiswa melempari polisi bermotor dengan batu. Satu polisi terluka terkena lemparan batu di kepala. Aksi berlangsung anarkis. Sejumlah mahasiswa merusak dan mencabut rambu-rambu lalu lintas.

Sementara di depan Kantor DPD Partai Demokrat di Makassar, mahasiswa juga bersitegang dengan polisi. Mahasiswa melempari Kantor Demokrat dengan telur busuk. Bahkan mereka juga memberi pakaian dalam kepada pengurus Partai Demokrat.

Sedangkan di Kantor DPRD Sulawesi Selatan, ratusan mahasiswa membanjiri lingkungan kantor untuk berorasi. Di antaranya dari Universitas Negeri Makassar, Universitas Islam Makassar dan perguruan tinggi lainnya berunjuk rasa dari pagi hingga siang hari.

Di sejumlah titik, mahasiswa juga berunjuk rasa dengan menahan dan menginjak-injak mobil dinas pemerintah setempat dan selalu memblokir jalan tempat mereka melancarkan aksinya. (Lihat).

***

Bagaimana sebenarnya sejarah bentrokan mahasiswa di Makasar selama beberapa tahun terakhir? Berikut data-datanya :

24 April 1996

Terjadi bentrokan antara mahasiswa dan aparat. Aparat sempat menyerbu ke dalam kampus UMI. Tiga mahasiswa UMI tewas dan puluhan mahasiswa serta aparat luka-luka. Peristiwa ini dipicu oleh penolakan mahasiswa terhadap kenaikan tarif angkutan kota. Peristiwa itu dikenal dengan nama Amarah atau April Makassar Berdarah yang diperingati setiap tahun dan disebut-sebut sebagai peringatan atas kebrutalan polisi dan militer.

1998
Hampir sepanjang 1998 aksi mahasiswa UMI nyaris semuanya berakhir dengan bentrokan versus polisi. Militansi mahasiswa harus berhadapan dengan ketegasan Kepala Poltabes Jusuf Manggabarani.

September 2000

Mahasiswa UMI beraksi menolak masuknya beras impor ke Sulawesi Selatan. Dua mahasiswa UMI disel, yaitu Surya dan almarhum Nasrullah. Bentrokan bermula di gedung DPRD Sulsel dan merembet ke depan kampus UMI di Jalan Urip Soemoharjo.

Juni 2001

Mahasiswa menuntut penghapusan Rancangan Undang-Undang Penanggulangan Keadaan Bahaya. Mahasiswa UMI unjuk rasa di DPRD. Mahasiswa sempat diburu anjing milik aparat dan disiram gas air mata.

18 Februari 2004

Mahasiswa bentrok dengan aparat karena memprotes Mahkamah Agung yang memvonis bebas Akbar Tandjung. Mahasiswa ngotot menutup jalan, sementara aparat perintis berkeras membuka jalur jalan. Aparat sempat menerobos ke dalam kampus. Tiga mahasiswa ditangkap dan sebuah sepeda motor milik mahasiswa rusak.

1 Mei 2004

Polisi menyerbu ke dalam kampus UMI. Akibatnya, puluhan mahasiswa luka-luka dan di rawat di rumah sakit. Kasus ini menyebabkan Kapolda Sulses Irjen Pol. Jusuf Manggabarani dicopot dan polisi menuai kecaman dari banyak kalangan. Belakangan namanya sempat muncul kembali di media saat memeriksa Kombes Pol Susno Duadji terkait kasus Bibit-Chandra. Saat itu dia bertindak sebagai Irwasum (Inspektur Pengawasan Umum).

5 Desember 2006

Mahasiswa dari Fakultas Sastra dan Seni Rupa melawan mahasiswa Fakultas Pendidikan Olahraga dan Kesehatan, UNS, Selasa, 05 Desember 2006 dan masih banyak lagi.

24 September 2008

Sebanyak 24 mahasiswa berasal dari Fakultas Sastra dan Desain (FSD), satunya lagi dari Fakultas Teknik, Universitas Negeri Makassar.

3 November 2008

Ratusan mahasiswa Universitas 45 Makassar terlibat tawuran dengan aksi lempar batu sesama mahasiswa.

Sumber.

Mahasiswa Makasar Bentrok dengan Sesama Mahasiswa

Belum puas mahasiswa Makasar bentrok dengan polisi dan warga, jika tidak ada kerjaan mereka saling bentrok dengan sesama rekan mahasiswa lain. Biasanya hanya karena masalah sepele namun kerusakan yang ditimbulkan begitu hebatnya. Bentrokan ini tidak pernah luput dari pemberitaan media televisi, terutama Metro TV yang memiliki jaringan siaran di Makasar.

Bentrokan sesama mahasiswa kembali terjadi. Kali ini terjadi di Makassar, yaitu di Universitas Muslim Indonesia (lagi-lagi kampus ini). Seperti yang dilansir oleh media massa setempat (Tribun Makassar), bentrokan melibatkan mahasiswa Fakultas Teknik dengan mahasiswa yang tergabung di unit kegiatan Mahasiswa Pecinta Alam (Mapala) UMI. Akibat bentrokan tersebut, seorang mahasiswa Fakultas Teknik, mengalami luka parah akibat terkena tebasan parang dan anak anak panah di bagian leher. Dua mahasiswa teknik lainnya menderita luka akibat bentrokan.

Bentrokan ini dipicu hanya karena provokasi berupa pamflet oleh Kelompok Mapala di sekitar fakultas teknik. Pamflet ini kemudian membuat beberapa mahasiswa fakultas teknik naik pitam hingga akhirnya menyerang unit Mapala tersebut. Dari penyerangan ini bentrokan akhirnya tidak teredam, hingga korban berjatuhan.

Selain di UMI, bentrokan sesama mahasiswa juga terjadi di kampus ternama kota Makasar yaitu Universitas Hasanuddin (Unhas) pada hari Rabu, 17 Februari 2010. Pemicunya, mahasiswi Fakultas Teknik yang berjualan kue di Fakultas Peternakan digoda sejumlah mahasiswa.

Padahal, mereka berjualan kue dalam rangka pengumpulan dana. Tidak terima, mereka lalu melaporkan perlakuan mahasiswa peternakan tersebut kepada seniornya. Alhasil, bentrok mahasiswa antardua fakultas ini pun pecah.

Bentrok berlangsung sekira 90 menit. Mulai pukul 12.00 hingga pukul 13.30 wita. Tidak ada korban serius dalam insiden ini. Namun, sejumlah kaca gedung perkuliahan rusak terkena lemparan batu.

Mengenai sanksi yang akan diberikan, Pembantu Rektor III Unhas Nasruddin Salam mengatakan, hal tersebut belum bisa dipastikan hingga proses penyelidikan kelar. Ia berharap, sanksinya tidak terlalu berat, karena universitas mengutamakan penyelesaian yang selaiknya. “Namun jika ini terulang lagi, terpaksa kami memilih menyelamatkan nama baik ribuan mahasiswa,” tegasnya. (Lihat)


***

Mahasiswa yang terlibat bentrokan tersebut sama dengan anak-anak. Bentrokan yang dilakukan merupakan cerminan belum adanya sikap dewasa dalam diri pelaku. Sikap kekanak-kanakan yang dimiliki pelaku menjadikan para pelaku tidak mengedapankan hati nurani serta akal yang jernih. Emosi mudah sekali meledak hanya karena ejekan atau provokasi yang tidak ada gunanya.

Sayangnya para pelaku membawa identitas mahasiswa yang notabenenya merupakan kaum intelek, kaum terpelajar. Para pelaku dapat dikatakan sebagai produk gagal dari pendidikan tersebut. Entah siapa yang gagal, apakah pendidik, sekolah, atau sistem pendidikan yang membuat mereka gagal memahami dan mengaplikasikan nilai luhur pendidikan tersebut. Nilai luhur pendidikan akan menjadikan seseorang yang dididik memiliki akhlak yang baik, kemandirian, dan kedewasaan. Ini menjadi bukti bahwa sistem pendidikan indonesia masih gagal membentuk pelajar yang sesuai dengan nilai luhur pendidikan.

Fakta di atas cukup menjadi bukti bahwa ada kesalahan dalam sistem pendidikan kita. Pemerintah sebagai penyelenggara pendidikan sudah seharusnya mencermati betul permasalahan ini. Evaluasi dan tindakan cepat harus segera dilakukan untuk mengantisipasi kasus-kasus serupa. Bagaimana mungkin Indonesia akan mencapai visinya pada tahun 2020 yakni ingin mewujudkan masyarakat Indonesia yang bersatu jika pada saat ini mahasiswa dan pelajarnya saja masih tawuran.

Tidak di ibukota negara, tidak juga di daerah-daerah, semua polanya sama, yakni demonstrasi yang berakhir ricuh dan anarkis. Meskipun jumlahnya tidak sampai ribuan, kadang kerusakan yang dihasilkan sangat besar. Lagi-lagi yang dirugikan adalah negara, dalam hal ini uang rakyat juga. Seperti yang terjadi Rabu kemarin (3/3/2010) di depan gedung DPR/MPR Jakarta, bertepatan waktunya dengan kericuhan di Makasar, massa melakukan aksi perusakan dan lempar batu kepada polisi. Untungnya pihak kepolisian tidak terpancing emosinya, hanya berdiri sambil berjaga-jaga, diselingi senyuman penghangat suasana.

Pagar kawat yang sebagian sudah penyok-penyok langsung diinjak ratusan orang. Mereka pun berhasil menerobos masuk ke areal yang sebenarnya kawasan steril dari para demonstran. Tak puas menerobos masuk areal steril, massa melakukan aksi lempar batu dan bambu ke arah dalam Gedung MPR/DPR/DPD.

Perusakan pagar berduri ini cukup disayangkan pihak kepolisian, karena sebelumnya telah dinyatakan bahwa merusak pagar kawat berduri merupakan perbuatan pidana. Dalam Pasal 170 KUHP disebutkan, dilarang melakukan perusakan alat bantu milik polisi.

Melihat kondisi demikian, rupanya Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Boy Rafli Amar hanya tersenyum tanpa memberikan komentar. Bisa jadi, ia masih terheran-heran dengan massa demonstran yang kerap sulit diatur. Sudah dilarang anarki, tetap saja dilakukan. (Lihat).

Bentrokan 'mahasiswa' di depan Gedung DPR/MPR Jakarta 3/3/2010  (foto kompas)

Bentrokan 'mahasiswa' di depan Gedung DPR/MPR Jakarta 3/3/2010 (foto kompas)

***

Melihat tingkah polah anggota DPR waktu sidang paripurna kemarin-kemarin, terlihat di televisi ada yang naik podium, ada yang mau melempar pimpinannya dengan botol air, melempar buku, bahkan ada yang hendak menaiki meja pimpinan, dan kelakuan tidak layak lainnya, sebagai rakyat yang diwakilinya saya tidak heran jika kelakuan para mahasiswa Makasar dan demonstran di luar gedung DPR/MPR hari Rabu kemarin, sangat mirip dengan perilaku ‘seniornya’ itu.

Ada benarnya juga jika kemarin kompasianer Yusran Darmawan mengatakan dalam butir-butir penyebab mahasiswa Makasar sering bertindak rusuh. Dia menyebutkan salah satu penyebabnya adalah keinginan untuk diliput televisi dan terkenal. Katanya para pendemo belum akan beraksi jika para jurnalis belum datang meliput. Juga menjadi panggung para aktivis untuk tampil dan masuk berita. Seperti istilahnya Tukul Arwana, “masuk tipi..masuk tipi”. Jika harapan mahasiswa-mahasiswa itu ditarik sebuah garis lurus kepada anggota-anggota pansus Bank Century yang bertindak ‘luar biasa’ pada setiap sidang, demi ingin disorot kamera teve, maka garis itu akan bertemu. Keduanya linear.

Jadi, sudah selayaknya ‘senior-senior’ semacam Akbar Faizal, Bambang Soesatyo, Ruhut Sitompul, Andi Rahmat, Maruarar Sirait dan ‘macan-macan’ pansus Bank Century untuk segera menggelar rapat dengar pendapat dengan ‘junior-juniornya’ di kampus-kampus di seluruh penjuru kota Makasar dan tempat-tempat lain yang sering ricuh. Sekedar berbagi ilmu komunikasi barangkali, bukan mengajarkan cara bertindak anarkis dan primitif seperti selama ini. Jika mereka sukses, saya rasa ke depan, tidak akan ada lagi bentrokan-bentrokan mahasiswa dengan polisi dan pengantar jenazah.

Berikut ini saya sertakan dua komen dari pembaca artikel yang ada padai salah satu link di atas, kebetulan ada dua komen berurutan yang senada namun caranya berbeda. Cukup menarik untuk disimak dan diresapi, yang satu sangat anarkis, sarkastik, tidak enak didengar, dan primitif. Sedangkan yang satunya cukup intelek, enak dibaca, tidak membuat orang terpancing emosinya, dan modern.

Komentar-komentar itu bisa dilihat di sini :

1. Kecewa Sama Mahasiswa, Kamis, 4-Maret-2010

Lah mahasiswa Makassar tai anjing..kunyuk edan bisanya ribut aja .. mahasiswa apa .. ga intelek .. preman kampus… mau jadi apa .. bisanya ribut malu donk sama pihak yang di demo….mikir

2. akbar, Kamis, 4-Maret-2010

saya juga heran dengan sauda saudaraku yang di makassar, kenapa sih kalau demo ujung ujungnya anarkis melulu… saya sebagai org makassar yg ada di rantau sangat malu dengan tindakan mereka, tidak aparat, warga, sampai sampai pembawa jenazah di temani berantem.. sungguh suatu perbuatan yang tidak menunjukan sikap seorangg mahasiswa.

Dulu, penguasa Orde Baru, Presiden Soeharto yang terkenal identik dengan mistik, mengganti nama kota Makassar menjadi Ujung Pandang. Entah ada hubungannya atau tidak, sejak pergantian nama ini, kota itu menjadi lebih tenang hingga kemudian dikembalikan namanya era Presiden Gus Dur. Sebagai umat beragama, tentu kita tidak perlu percaya takhayul itu. Bisa jadi memang karakter warga sana memang keras, demi adat “siri”, bukan karena terkait “kasar” pada nama Makassar.

Menyaksikan bentrokan mahasiswa Makassar Rabu kemarin, Aviliani (lihat tulisan saya Ini Dia (Calon) Menkeu Pengganti Sri Mulyani) mengatakan di TV One, “Mahasiswa anarkis hanya akan menjadi diktator jika berkuasa, sekarang saja mereka memaksakan kehendaknya tanpa mengindahkan aturan yang ada”.

Bagaimana dengan Anda?

Demo tidak harus "primitif" jika moral menjadi modal  (foto google)

Demo tidak harus "primitif" jika moral menjadi modal (foto google)

0 komentar:

Posting Komentar